Situs Makam Sunan Muria

Raden Umar Said atau yang lebih kita kenal dengan nama Sunan Muria merupakan salah satu Wali Songo yang dikenal dengan cara berdakwahnya yang unik. Sunan Muria merupakan putra dari Sunan Kalijaga dan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq. Nama Sunan Muria sendiri diperkirakan berasal dari nama gunung yaitu Gunung Muria yang terletak di sebelah utara kota Kudus, Jawa Tengah.

Sunan Muria menikah dua kali yaitu dengan Dewi Sujinah yang merupakan putri dari Sunan Ngudung yaitu adik dari Sunan Ampel dan menikah dengan Dewi Roroyono yang merupakan putri Ki Ageng Ngerang dan Nyai Ageng Ngerang. Setelah menikah dengan Dewi Sujinah, mereka dikaruniai seorang anak yang diberi nama Raden Saridin, sedangkan hasil dari pernikahan dengan Dewi Roroyono yaitu dikaruniai tiga orang anak antara lain Sunan Nyamplungan, Raden Ayu Nasiki, dan Pangeran Santri.

Sunan Muria diketahui sebagai Wali Songo termuda. Metode dakwah yang dilakukannya yaitu lebih senang berada di daerah-daerah terpencil dan bergaul dengan rakyat biasa, bukannya bangsawan. Hal yang membuat dakwahnya mudah diterima adalah Ia juga mengajarkan keterampilan-keterampilan pada masyarakat seperti bercocok tanam, kesenian, dan berdagang. Untuk dakwah yang melalui kesenian, Sunan Muria menggunakan metode yang hampir sama dengan ayahnya, Sunan Kalijaga, yaitu menggunakan gamelan, wayang, dan tembang Macapat seperti Kinanthi dan Sinom. Dengan mengetahui bahwa saat itu masyarakat masih banyak yang menganut kepercayaan lama dengan tradisi Jawa yang masih kental, lantaran tidak membuat Sunan Muria langsung melarang penyelenggaraan adat-istiadat atau tradisi yang ada karena dianggap menyalahi aturan dalam Islam, namun hebatnya adalah Ia pelan-pelan memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam tradisi masyarakat setempat. Seperti salah satunya adalah tradisi bancakan atau selamatan yang diperhalus menjadi kenduri untuk mengirim doa kepada para leluhur namun melalui doa-doa Islam. Tak hanya itu, cara dakwahnya pun dikenal mempunyai nilai-nilai yang berhubungan dengan kelestarian lingkungan, salah satunya ialah tradisi Guyang Cekathak di dekat Sendang Rejoso yang mana tradisi tersebut merupakan tradisi meminta hujan dengan mencuci guyang atau pelana kuda milik Sunan Muria.

Cara berdakwah Sunan Muria tersebut dikenal dengan topo ngeli. Itu artinya sama dengan “menghanyutkan diri” dalam masyarakat. Sasaran dakwahnya adalah para nelayan, pedagang, pelaut, dan juga rakyat biasa lain. Bahkan berkat kepiawaiannya dalam memecahkan berbagai macam masalah, Sunan Muria pernah dijadikan sebagai penengah dalam konflik internal yang ada di Kesultanan Demak (1518-1530). Tempat berdakwahnya Sunan Muria sendiri ada di sekitar Gunung Muria, lalu meluas hingga ke Tayu, Kudus, Jepara, Juana, dan Pati.

Meski belum ditemukan informasi pasti mengenai kapan wafatnya Sunan Muria, namun diperkirakan bahwa Sunan Muria meninggal dunia pada tahun 1560 M dan dimakamkan di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kudus, yang mana tempat pemakaman tersebut terletak di puncak Gunung Muria.

Aneh rasanya apabila seorang tokoh yang sangat berpengaruh tidak meninggalkan apapun selain ilmu yang diajarkannya. Begitu pula dengan Sunan Muria, sosoknya memiliki beberapa peninggalan, antara lain masjid yang berada di puncak Gunung Muria. Masjid tersebut terletak di ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut. Di dalam masjidnya, terdapat beberapa benda yang pernah digunakan oleh Sunan Muria semasa hidupnya meski masjidnya sudah mengalami perubahan berkali-kali, tetapi beberapa bagiannya masih dipertahankan hingga saat ini, seperti tempat pengimaman yang bentuknya menjorok ke dalam. Hal itu memiliki makna bahwa umat Islam harus mementingkan kepentingan akhirat dibandingkan urusan dunia. Lalu ada pula benda lain yang masih dipertahankan yaitu bedug yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran naga dan ayam jantan. Untuk bisa mencapai masjid ini, pengunjung harus berjalan kaki dulu sejauh 3 km.

Selain masjid, ada pula peninggalan lain yaitu situs air gentong keramat. Situs ini berada di dekat kompleks pemakaman Sunan Muria. Air dari situs ini dipercaya bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit aneh yang secara medis tidak bisa disembuhkan. Selanjutnya adalah Parijoto. Parijoto merupakan buah yang mempunyai ukuran sebesar kacang tanah dan rasanya asam. Ia akan berwarna merah muda ketika masih mentah, sedangkan saat sudah matang warnanya menjadi hitam. Buah ini dipercaya mempunyai kandungan gizi yang cukup baik dan cocok untuk Ibu-ibu yang sedang mengandung. Selanjutnya ada pesantren yang menjadi pusat pendidikan agama dan pengajaran Islam yang letaknya di Gunung Muria dan masih berfungsi hingga saat ini, pesantren tersebut diberi nama Pesantren Muria. Selain itu, ada juga ide atau pemikiran yang ditinggalkan Sunan Muria selain ajaran-ajaran Islamnya, adalah Pakis Haji yang mana masyarakat yang ada di sana percaya bahwa tanaman Pakis Haji tersebut dapat menyelamatkan sawah yang terancam gagal panen karena wabah tikus.

Kompleks makam Sunan Muria sendiri sampai sekarang masih menjadi tujuan ziarah dan ibadah bagi umat Islam. Untuk penentuan lokasi makam tersebut dipercayakan kepada salah satu murid beliau yang bernama Syekh Ahmad Asrori. Di dalamnya terdiri dari beberapa bangunan dan fasilitas, antara lain makam utama yang menjadi tempat peristirahatan terakhir Sunan Muria, kemudian masjid, selain masjid ada pula langgar atau musala yang disediakan sebagai tempat ibadah bagi peziarah yang beragama non-muslim. Lalu terdapat area peristirahatan dan pelayanan.

Referensi:

Sunan Muria – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Fakta Menarik tentang Sunan Muria dan Berbagai Peninggalannya (gramedia.com)

1 pesan baru (jatengprov.go.id)

Makam Sunan Muria – Situs Budaya

Kisah Sunan Muria yang Berdakwah Melalui Kesenian dan Mengajar Keterampilan Gratis pada Masyarakat | Orami

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *