Sebuah Bangsa yang Menolak Warisannya

Indonesia memiliki 9 World Heritage Site atau ramah dikenal sebagai Situs Warisan Dunia. Entah kebetulan atau bagaimana semuanya berhubungan dengan keaneragaman hayati dan lingkungan. Saya berharap anda mencari sendiri mengenai rincian daftar World Heritage Site di whc.unesco.org dan menganalisisnya jika kurang mengetahui informasi tersebut. Tetapi intinya UNESCO terakir telah menetapkan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto di Pulau Sumatra di tahun 2019 dengan memasukkannya sebagai situs warisan cagar budaya. UNESCO mengkategorikan 5 situs kedalam daftar situs cagar budaya dan ada 4 situs yang termasuk sebagai cagar alam.

Meskipun ada 5 situs dicantumkan sebagai cagar budaya, situs-situs tersebut pun tidak lepas dengan aspek keaneragaman hayati dan lingkungan. Hal tersebut lantaran 5 situs itu menunjukkan kekayaan ragam dan nilai keselarasan antara kelestarian lingkungan dan kebudayaan manusia. Situs-situs tersebut adalah Candi Borobudur, Candi Prambanan, Lanskap Budaya Sistem Subak, Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto dan Situs Manusia Purba Sangiran.

Borobudur dan Prambanan telah dikenal sebagai bangunan megah yang lepas dari pemakaian material perusak lingkungan, –saya maksudkan disini adalah semen. Kemudian Lanskap Budaya sistem subak atau secara lengkap UNESCO menyebutknya Lanskap Budaya Provinsi Bali : Sistem Subak sebagai manifestasi filosofi Tri Hita Karana yang merupakan sistem tanam padi di lereng dengan mengadaptasi filsafat keselarasan antara tuhan, alam dan manusia.

Sedangkan, Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto pun saya anggap sebagai World Heritage Site pun menunjukkan nilai keselarasan antara kelestarian lingkungan dan kebudayaan manusia meskipun sitis tersebut berupa bekas tambang. Hal tersebut dikarenakan saya menyepakati hasil Pertemuan Komite Warisan Dunia Sesi ke-43, di Baku, Azerbaijan pada bulan Juli tahun 2019. Pertemuan tersebut memiliki alasan bahwa Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto menunjukkan perkembangan teknologi yang menggabungkan ilmu teknik pertambangan bangsa Eropa dengan kearifan lingkungan lokal, praktik tradisional dan nilai budaya dalam kegiatan penambangan batubara masyarakat Sumatera Barat.

Lalu yang terakhir adalah Situs Manusia Purba Sangiran yang dapat menggambarkan keselarasan kehidupan manusia purba dengan ragam kehidupan lainnya pada periode purbakala. Bahkan Situs Manusia Purba Sangiran telah menyumbang 50% temuan arkeologis terkait Homo Erectus di Dunia.

Menolak Warisan

World Heritage Site di Indonesia menunjukkan adanya keterkaitan antara; lingkungan, budaya dan spiritualitas atau agama. Tapi agama yang saya maksud disini adalah Agama Nusantara,–baik murni dari Nusantara atau agama naturalisasi dari agama samawi dengan nilai-nilai spiritual Nusantara, bukan semata-mata agama impor begitu saja. Sayangnya pengetahuan agama yang disampaikan secara mabuk-mabukan dan ugal-ugalan dalam ranah pendidikan fomal justru mengubur pengetahuan bangsa ini terhadap warisan dunia. Pendidikan di Indonesia tidak dapat lepas dari agama karena telah lama menjadi bagian dalam membangun karakter dari bangsa Indonesia. Membangun sekaligus meruntuhkan, sepertinya demikian saya gambarkan.

Intervensi agama dan spiritualitas dalam membangun kebudayaan dan peradaban secara konkrit tergambar jelas melalui cagar budaya seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan dan Lanskap Budaya Sistem Subak. Sayangnya Candi Borobudur dan Candi Prambanan hanyalah peninggalan kaum kafir dalam mayoritas perspektif agama samawi. Bahkan beberapa pandangan agama yang lebih ekstrim masih memiliki kecenderung untuk menunjukkan sikap intoleransi terhadap peninggalan kebudayaan masa lampau dan mengaitkannya dengan pandangan Pseudo-Historis. Saya tidak akan membahas secara spesifik semua situs warisan dunia di indonesia. Saya ingin memfokuskan pada kecelakaan bangsa ini menempatkan perspektif terhadap satu-satunya situs warisan dunia yang dengan jelas ditolak mentah-mentah oleh bangsanya sendiri,–Situs Manusia Purba Sangiran.

“Sangiran diakui oleh para ilmuwan untuk menjadi salah satu situs yang paling penting di dunia untuk mempelajari fosil manusia, disejajarkan bersama situs Zhoukoudian (Cina), Willandra Lakes (Australia), Olduvai Gorge (Tanzania), dan Sterkfontein (Afrika Selatan), dan lebih baik dalam penemuan daripada yang lain.” (Sangiran Early Man Site, UNESCO 1995 dalam whc.unesco.org) Jangan menganggap semua temuan di Situs Manusia Purba Sangiran yang dimaksud itu berkaitan dengan tulang belulang semata. GHR von Koenigswald menjuluki lokasi penggalian fosilnya sebagai Sangiran Flakes Indusry yang mengandung sumber pengetahuan tentang artefak budaya yang dibuat oleh Manusia Purba terlengkap di Dunia.

Coba tanyakan pada diri anda sendiri mengenai bagaimana seorang guru sejarah menjelaskan perkembangan manusia dari zaman purbakala, mengenai masa dimana makhluk seperti Homo Erectus, Homo Ergaster dan Homo Neanderthal masih berjalan di atas bumi, dan diakui sebagai pendahulu Homo Sapiens. Saya yakin banyak diantara anda yang diajak untuk ramai-ramai mencemooh Teori Kafir Charles Darwin mengenai Evolusi Manusia. Atau yang lebih celaka lagi dalam pembahasan ini menyebutkan Borobudur adalah Istana Sulaiman dan Candi Ratu Boko dalam kawasan Candi Prambanan adalah Istana Ratu Balqis.

Kasus cemoohan dan penyangkalan materi pengetahuan situs budaya yang sangat lazim kita temui dalam pembelajaran manusia purba di sekolah membuat saya sangat menyayangkan betapa sedikitnya perkembangan pengetahuan pendidik terhadap posisi Kementerian Agama Republik Indonesia yang mendukung Teori Evolusi. Posisi tersebut sangat gamblang dicantumkan dalam Tafsir Ilmi yang diterbitkan pada tahun 2012. Buku tersebut mencantumkan tafsir Surat Al-Insan Ayat : 1 dalam kitab suci Al-Quran sebagai berikut : “Manusia ketika itu belum sampai pada tingkatan dimana ia sadar akan dirinya. Ia belum lagi sadar akan waktu dan tidak mempunyai kemampuan untuk mengenali dirinya sendiri. Ia adalah sebentuk makhluk hidup tanpa kesadaran dan kecerdasan tentang dirinya sendiri atau benda di sekitarnya.” (Tafsir Ilmi Hal : 17). Ayat tersebut menunjukkan sikap bahwa pengakuan atas adanya fase dimana manusia belum dianggap manusia seperti sekarang ini, atau dapat dikatakan masa sebelum Adam diakui sebagai makhluk hidup yang memiliki ruh dan akal-budi manusia. Maka pernyataan tersebut mengakui adanya proses pencerdasan akal dan pikiran bagi manusia dalam teori evolusi kognitif.

Penerimaan atas teori evolusi manusia purba juga ditunjukkan oleh agama Kristen dan Katolik meski harus melalui rentang dua abad. Pada paruh awal teori evolusi yang dikenalkan melalui buku The Origin of Species karya Charles Darwin, Paus Pius IX dalam Konsili Vatikan I tahun 1869-1870 menyebutkan secara dogmatis sebagai berikut :

  • Oleh karena itu semua umat Kristen dilarang untuk mempertahankan, sebagai kesimpulan ilmu pengetahuan yang sah, opini-opini yang diketahui bertentangan dengan doktrin iman, terutama jika hal-hal tersebut telah dikutuk oleh Gereja; dan lebih jauh lagi para umat berkewajiban untuk berpegang teguh bahwa hal-hal tersebut adalah sesuatu yang salah dengan penampilan menipu sebagai sesuatu yang benar.

Kemudian Bernadeane Carr dalam sebuah artikelberjudul Adam, Eve, and Evolution dengan Rubrik Catholic Answer di  Catholic.com menyebutkan bahwa pada tahun 1950 posisi gereja secara tidak resmi mencantumkan posisi netralitas pada teori evolusi. Lalu posisi gereja kembali berubah pada tahun 2007 yang menyebutkan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan terhadap evolusi manusia tidaklah bertentangan, walaupun manusia dianggap sebagai ‘karya penciptaan khusus’, dan bahwa Tuhan dibutuhkan untuk menjelaskan komponen spiritual dari asal usul manusia. Pandangan ini mengarah ke dalam spektrum pandangan yang dikelompokkan di bawah konsep Teisme Evolusi.

Menyadarkan Indonesia

Jika kita bicara mengenai satu kata ‘Teknologi’ dan pikiran anda melayang hanya pada batasan penemuan dan inovasi dalam topik fisika, kimia, astronomi, matematika dan komputasi benda-benda, maka izinkan saya menghujat betapa sempitnya pandangan anda secara habis-habisan. Sayangnya anda tidak sendiri dan banyak pihak di Indonesia yang seperti itu dikarenakan oleh hasil dari pendidikan masyarakat di Indonesia yang menampik dan menolak teori evolusi.

Pandangan yang berkembang dalam teori evolusi secara langsung telah berkontribusi dalam perkembangan teknologi genetika, dan kita tahu teknologi genetika dalam serangkaian bentuk Artificial Evolution telah memberi ketahanan pangan bagi peradaban makhluk over-populasi ini.

Contoh yang paling dekat bagi kita adalah Artificial Evolution spesies Canis Lupus atau yang ramah kita kenal sebagai Anjing. Ya. Anjing telah memiliki 138 ras yang kesemuanya berasal dari Canis Lupus (Dan Rice, The Complete Book of Dog Breeding. 1996). Secara singkat perkembangan teori evolusi dibagi menjadi 3 fase dimana ketiga fase tersebut sangat erat hubungannya dengan Indonesia.

Fase Pertama adalah fase kemunculan Teori Seleksi Alam. Teori ini tercetus oleh hasil diskusi dari Charles Darwin yang sedang meneliti Kura-Kura di Kepulauan Galapagos dan  Alfred Russel Wallace yang sedang meneliti persebaran binatang di Kepulauan Maluku. Diskusi melalui surat yang dikenal sebagai Letter from Ternate menjadi dasar bagi Wallace menulis buku The Malayan Archipelago yang dan kemudian menjadi pondasi bagi Darwin dalam menyusun karya besarnya The Origin Of Species.

Kemudian fase kedua ditandai dari kemunculan Teori Rekapitulasi dalam buku Natürliche Schöpfungsgeschichte (Sejarah Penciptaan Alamiah) yang diterbitkan pada tahun 1868 oleh Ernst Haeckel. Teori Rekapitulasi (hukum biogenesis) yang diterima luas oleh masyarakat memiliki prinsip bahwa ‘embrio dianggap mencerminkan bentuk dewasa organisme moyang evolusionernya.’ Teori inilah yang kemudian mengenalkan kita dengan adanya Missing Link dalam Proses Evolusi Manusia. Lalu pada tahun 1891 Eugene Dubois yang menemukan tengkorak Pithecantropus Erectus atau sekarang disebut Homo Erectus di Ngawi dianggap sebagai penemu ‘Mata Rantai yang Hilang’.

Fase ketiga ditandai ketika penelitian Ernst Haeckel telah terbukti sebagai pemalsuan. Artikel yang ditulis ahli embriologi Inggris Michael Richardson berjudul ‘Haeckel’s Embryos: Fraud Rediscovered (Embrio-embrio Haeckel: Penipuan Diungkap Kembali)’ di majalah Science edisi 5 pada September 1997 menunjukkan tentang gambar-gambar Haeckel yang telah lama dipertahankan dalam daftar sebagai bukti palsu evolusi. Artikel tersebut muncul dan populer yang setelahnya seluruh kalangan dunia ilmiah sependapat bahwa telah terjadi pemalsuan oleh Ernest Haeckel. Teori Rekapitulasi yang sekarang ini ditolak telah dimodifikasi menjadi Teori Filogeni. Kemudian serangkaian penemuan di kepulauan Nusa Tenggara di akhir abad 20 mengenai Homo Florensiensis (Manusia Flores), Spelaeomys florensis (Tikus Raksasa) dan Varanus Priscus (Megalania atau Komodo Raksasa) menyumbang kajian anomali evolusi yang dikenal sebagai Teori Pengkerdilan atau Dwarfism.

Evolusi dan Indonesia sangat berkaitan erat. Bangsa ini seharusnya dapat lebih terbuka oleh pandangan Teori Evolusi, mengingat keaneragaman hayati dan lingkungan yang secara jelas dan gamblang telah digambarkan dengan Situs Warisan Dunia. Jika banyak dari kita memiliki keterbatas akses terhadap verifikasi teori dan keberlangsungan akademis dalam pendidikan formal, Kita dapat mengunjungi Museum-museum. Museum merupakan instansi yang mengkritalisasi pengetahuan dan terus berkembang. Mungkin jika anda membutuhkan anda bisa berlama-lama di Kompleks Museum Manusia Purba Sangiran yang berjumlah 5 Museum terpisah untuk mempelajari pengetahuan seputar arkeologi, manusia purba dan teori evolusi, atau ke Museum Dieng Kailasa untuk mempelajari perkembangan gerak peradaban kebudayaan dan pengetahuan percandian di Indonesia.

Teori Evolusi dan segala pengetahuan yang meliputi Situs Warisan Dunia selayaknya menjadi bahan pembelajaran yang intensif karena menjadi pintu masuk pengembangan Teknologi masa depan,–yang berimbas segala aspek kehidupan dan pembangunan berkelanjutan. Kemudian harapannya di masa depan, penolakan atas Situs Warisan dunia yang dibenturkan dengan pandangan agama tidak lagi menghambat bangsa ini untuk menjadi bangsa yang berpengaruh besar bagi keselarasan lingkungan, budaya dan spiritualitas dalam aspek kemanusiaan di Dunia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *