








Tiket
-
Jam Buka
09.00 - 16.00 WIB
Lokasi
Kudus, Jawa Tengah
Kompleks Candi Angin ditemukan sekitar tahun 1900 an oleh Mbah Wirodiwongso. Bersamaan dengan temuan Candi Angin ini secara berturut ditemukan juga Candi Bubrah, Candi Aso, Sumur Batu (Punden Dlupak/Lumpang), Punden Mbah Robyong, dan Punden Mbah Dono.
Candi Aso merupakan candi pertama yang dapat diakses di kompleks candi angin. Candi ini diketemukan dengan candi Angin dan Candi Bubrah dalam waktu bersamaan. Kompleks Candi Angin ditemukan sekitar tahun 1900 an oleh Mbah Wirodiwongso selaku Juru pelihara situs Candi Angin yang pertama. Bersamaan dengan temuan Candi Angin ini secara berturut ditemukan juga Candi Bubrah, Candi Aso, Sumur Batu (Punden Dlupak/Lumpang), Punden Mbah Robyong, dan Punden Mbah Dono. (Anonim, 2016)
Penamaan Candi Aso berasal dari bahasa Jawa “Aso (: Ngaso)” yang berarti beristirahat sejenak. Candi ini belum memiliki papan nama candi dan papan nama larangan. Struktur bangunan yang dapat terindentifikasi berupa gapura dan tangga masuk dari teras I ke teras II. Bentuk bangunan Candi Aso berupa bangunan punden berundak yang terdiri dari 3 halaman secara berteras dengan arah hadap barat laut. Pada teras II yang berada di depan struktur gapura berukuran luas 5,36 meter x 6,99 meter. (Hery. dkk, 2016)
Seperti Candi Aso, keberadaan Candi Bubrah ditemukan secara bersamaan dengan Candi Angin. Nama candi menurut informasi narasumber adalah Candi Bubrah atau Candi Bubar, hal ini dikarenakan pada saat ditemukan kondisi bangunan candi berserakan. Belum ada papan nama candi dan papan nama larangan di lokasi Candi Bubrah ini. Lokasi Candi Bubrah berada di lereng bukit Candi Angin dengan ketinggian 1314 M dpl. Dari lokasi Candi Bubrah ke arah barat dapat melihat Laut Jawa. Vegetasi yang berada disekitar Candi Bubrah dijumpai pohon ketileng, pohon Peranak, namun juga dijumpai pohon pakis, pisang maupun tanaman perdu. Sumber air yang terdekat dari Candi Angin berjarak sekitar ± 200 meter. (Hery. dkk, 2016)
Kemudian, ada Candi Angin yang berada di lahan hutan di atas puncak bukit Candi Angin di lereng Utara Gunung Muria dengan ketinggian 1424 M dpl dengan kemiringan lereng sekitar 450 – 600. Dari lokasi Candi Angin ke arah barat dapat melihat Laut Jawa. Perjalanan untuk mencapai lokasi Candi Angin dari dukuh Duplak dapat ditempuh dengan berjalan kaki dalam waktu 5–6 Jam, namun jika ditempuh dengan menggunakan sepeda motor dibutuhkan waktu 2‐3 jam. Vegetasi yang berada disekitar Candi Angin didominasi Pohon Peranak, namun juga dijumpai pohon pakis, pisang maupun tanaman perdu. Terdapat sumber mata air yang terdekat dari Candi Angin berjarak sekitar ± 700 meter. (Hery. dkk, 2016).
Terdapat sebuah Prasasti Candi Angin yang ditemukan pada tahun 2014 oleh Junaedi (Adik Juru Kunci) di kompleks percandian. Prasasti Candi Angin berbahan batu ini berbentuk persegi panjang berukuran tinggi 82 cm, lebar 30 cm, dan tebal 5 cm. Periodesasi prasasti tersebut diprediksi sekitar Abad ke-13 hingga 14 Masehi atau setara masa Kerajaan Majapahit. Prasasti tersebut diketahui memiliki tulisan di dua sisi, sisi A bagian depan dan sisi B bagian belakang. Menurut pembacaan Anggoro Pambudi N, Prasasti Candi Angin ini ditulis menggunakan aksara dan bahasa Jawa Kuno terdiri dari delapan baris di bagian depan dan tujuh baris di bagian belakang. Bentuk aksaranya tergolong kurang rapi. Berdasarkan isinya prasasti di atas berkaitan dengan pesan‐pesan keagamaan, bukan tentang sima (perdikan). Dengan demikian dapat diketahui bahwa prasasti tersebut tergolong sebagai jenis prasasti mandala, yang kebanyakan ditemukan di gunung‐gunung sebagai tempat pertapaan masa Jawa Kuno. (Anonim, 2016)
Isi Prasasti tersebut jika dibaca berarti : Pada suatu waktu ketika kaki minak mengampuni bapak dari rakaki secepet. Jika ada suami yang mengambil istri kedua, maka tidak akan menjadi atau tidak termasuk keturunan pemuja Siwa, Rakaki cucu (dari) buyut bernama wira gajah lawehah. Yang artinya hilangnya seluruh keturunan yang praprasi. Dapat di indikasi inkripsi dan terjemahan dalam prasati candi angin ini adalah berisi tentang larangan untuk mengambil istri kedua atau larangan dalam berpoligami dan tidak akan di ikut sertakan sebagai keturunan pemuja dewa siwa (Hery. dkk, 2016).
Secara faktual, Isi Prasasti sisi A tertulis sebagai berikut :
“…wara kaki minak apur bap(a) secepet (titik) yen ana (ana)lap-(do) (…..)b(h)arta tan dadiha wwa(n)sa tutus (s)swa (titik),..” (Pada suatu waktu ketika kaki minak mengampuni bapak dari rakaki secepet. Jika ada suami yang mengambil istri kedua, maka tidak akan menjadi atau tidak termasuk keturunan pemuja Siwa)
Sedangkan sisi B tertulis sebagai berikut :
“..wara kaki putu buyut gajah lawehah (titik) sirna tus sing praprasi (titik),.” (Rakaki cucu (dari) buyut bernama wira gajah lawehah. Yang artinya hilangnya seluruh keturunan yang praprasi).